Indonesiasenang-, Sampah, tak berguna, tak layak pakai, itulah yang masyarakat pikirkan jika melihat benda-benda kotor penuh lumpur dan bau bercampur jadi satu. Jangankan membersihkan, menyentuhnya pun akan berpikir ulang.
Namun tidak bagi Muhammad Febryansyah, Founder of Napak Bhumi. Di tangannya, sampah-sampah berupa ban bekas, kain bekas terutama berbahan jeans dan denim disulapnya menjadi karya limited edition dalam setiap produksinya. Ya, melalui Napak Bhumi yang beberapa tahun terakhir ia bangun, pria yang kerap dipanggil Ebi ini memanfaatkan limbah fashion dan ban sebagai bahan utama produk sepatunya. Bahkan tak jarang, ia mendapatkannya dari hasil memungut sampah di sungai Ciliwung.
Ditemui pada saat acara Langkah Membumi Festival di SCBD Park, Jakarta yang diadakan oleh Blibli Tiket Action pada 25-26 November 2023, Ebi dengan semangat menjelaskan bagaimana dirinya membangun Napak Bhumi. “Ya kebetulan aku kan suka traveling ya, kesana kesini. Dan karena aku pikir, kita semestinya peduli dengan lingkungan namun juga memikirkan timbal baliknya untuk masyarakat juga. Selama kurang lebih lima tahun aku riset, akhirnya lahirlah Napak Bhumi yang relate banget sama aku yang suka jalan-jalan. ” jelas Ebi.
Diakui Ebi, saat ini dirinya memproduksi sepatu dengan jumlah terbatas. Meski begitu, justru banyak produknya yang sudah dipesan hingga ke mancanegara. Pada LMF 2023, ia menampilkan tiga produk Napak Bhumi yang dua di antaranya menjadi andalan, yakni Lelana Nuswantara (batik), yang dibuat dari aneka batik daerah, dan Lelana Basic. Sepatu dengan motif etnik saat ini menjadi favorit para pembelinya. Lelana Nuswantara sendiri diambil dari bahasa Sansekerta, yaitu Lelana yang berarti “berkelana” dan Nuswantara yang berarti Nusantara. “Kalau penjualan, dari 2020 lebih banyak jualnya di luar, ke Prancis, Jerman, sama Belanda. Sepatu kami start dari harga Rp 450 ribu sampai Rp 600 ribu. Tapi kalau ke luar negeri, aku jual Rp 1,2 juta,” lanjut Ebi.
Saat dicoba, sepatu produksi Napak Bhumi terasa ringan namun kokoh. Jika tidak dijelaskan bahwa sepatu Napak Bhumi adalah hasil daur ulang, maka dipastikan tidak ada yang tahu dari mana asalnya. Ebi juga menekankan bahwa dirinya sangat mengutamakan kualitas, agar para pembeli tidak kapok dan mau membangun kepercayaan terhadap produksi dalam negeri. Bahkan untuk penggunaan ban bekas, ia tidak sembarangan. “Nggak boleh yang udah botak, karena kita kan mau buat alasnya agar nggak licin ya. Jadi tetap harus diperhatikan juga. “tambahnya.
Ebi ingin nantinya, apa yang dilakukannya dapat bermanfaat untuk orang lain. Saat ini, dirinya ingin terus mengkampanyekan tentang kepedulian lingkungan, namun dapat memberikan timbal balik positif bagi para pelakunya. “Ya contohnya seperti ini, kita bukan cuma kampanye, tapi kita berikan solusi bagi mereka secara ide, secara ekonomi juga. Dan dengan adanya produk ini kan juga membantu masyarakat. Aku tadinya dibantu satu orang aja di desa daerah Bogor, tapi sekarang seluruh desa sudah ikut memproduksi sepatu-sepatu ini. Dan hasil penjualannya juga kita salurkan untuk sekolah yang kita bangun juga. Dari sampah, bermanfaat banyak untuk masyarakat.” pungkasnya. (kintan; foto praba)